Business
March 31, 2023

3 Strategi Bisnis D2C yang Brand Baru Bisa Pelajari

                   

                                                                                                                                                                                                                                                                                                     Sumber gambar: Freepik                                

         

 Meskipun brand - brand baru atau startup terdorong ingin terus memperluas pasar mereka, brand - brand besar yang sudah lebih lama berdiri justru bergerak ke arah yang berlawanan.

Di tahun ini ketika brand melaporkan pendapatan, banyak brand besar seperti Nike, Levi’s, dan Under Armour, telah menjadikan unit bisnis D2C (Direct to Consumer) atau official store mereka sebagai pemasukan terbesar dengan angka penjualan yang berlipat ganda. Sebelum beralih ke strategi bisnis D2C, brand - brand ini mengandalkan department store, dan berbagai mitra ritel besar lainnya sebagai sumber pemasukannya.

Brand seperti Nike dan Levi’s yang telah bertahun-tahun mengembangkan bisnis D2C, kini memiliki kendali lebih besar atas arah bisnis mereka. Pada kuartal terakhir, direct selling (penjualan langsung), yang mencakup penjualan toko offline maupun online resmi mereka, masing-masing menyumbang 41% dan 39% dari total pendapatan Nike dan Levi’s.

Menurut laporan Insider Intelligence, brand baru – yang didefinisikan sebagai brand yang belum mengadopsi strategi bisnis D2C – telah menginvestasikan $138 miliar untuk membangun website mereka di tahun ini. Dengan website ini, mereka berharap dapat mengikuti jejak brand - brand besar, seperti Nike, dalam menghasilkan banyak penjualan. Jumlah itu pun merupakan tiga kali lipat dari estimasi pendapatan yang bisa mereka dapatkan dari penjualan online di tahun 2023. Statistik ini membuktikan jika brand - brand lama telah memberi pengaruh besar dalam perkembangan bisnis D2C. 

Tidak semua brand besar berhasil mempertahankan strategi bisnis D2C, namun brand - brand yang sukses mempertahankannya memiliki karakteristik yang sama. Perusahaan - perusahaan ini memiliki brand awareness yang kuat dan mampu bertahan ketika mitra ritel berkurang. Perusahaan - perusahaan ini juga berinvestasi dalam membangun berbagai konsep baru toko dan menguji strategi bisnis digital.

Berikut adalah beberapa pelajaran untuk brand - brand baru yang bisa didapatkan dari brand besar yang telah sukses memasuki konsep D2C. 

Baca Juga : Kenapa Perusahaan Kamu Harus Menggunakan Iklan Podcast

 

 Membuka Toko Ritel untuk Brand Kamu Sendiri Itu Penting

Salah satu langkah terbesar yang diambil brand lama untuk mengembangkan bisnis D2C mereka adalah memperbanyak toko ritel mereka. 

Banyak dari brand lama mengambil pendekatan yang mirip dengan brand baru ketika membangun toko ritel mereka. Pertama - tama menguji pasar dengan membuka pop-up store dan bereksperimen dalam berbagai konsep. Setelah itu baru membuka toko di kota yang kiranya memiliki audiens dengan brand loyalty paling tinggi.

Namun, bisnis ritel brand lama berbeda dari brand baru karena pasarnya yang lebih besar. Dimana hal tersebut memungkinkan mereka untuk membuka banyak toko dengan waktu yang singkat dengan beragam konsep.

Misalnya saja Nike yang telah menghabiskan bertahun - tahun untuk bereksperimen dengan berbagai konsep toko untuk membangun bisnis D2C nya. Dalam laporan pendapatan triwulan terbarunya di bulan Desember 2022, didapatkan penjualan D2C Nike menghasilkan $5,4 miliar, dimana jumlah ini membuat mereka menjadi salah satu perusahaan D2C terbesar di antara brand - brand besar lainnya. 

Di tahun 2018, Nike membuka Nike Live, sebuah toko yang dikhususkan untuk pelanggan yang telah mengunduh aplikasi Nike. Ada pula konsep toko lain yang diuji oleh Nike, yang salah satunya adalah House of Innovation, yang merupakan flagship store Nike di kota - kota besar. 

Selain itu ada juga Nike Style, yang merupakan concept store yang lebih berfokus pada lifestyle fashion ketimbang sportswear. Nike Style baru diuji untuk pertama kalinya di Seoul pada tahun lalu. Keunikan lain dari toko Nike Style ini adalah adanya “content studio”, dimana ini adalah ruangan terbuka bagi customer, konten kreator, atau siapapun untuk membuat konten seputar review produk di dalam toko yang bisa mereka bagikan di media sosial mereka.

Meskipun akan membutuhkan waktu yang cukup lama bagi brand baru untuk dapat membuka flagship store di kota - kota besar, namun konsep luas strategi bisnis ini dapat diaplikasikan brand baru dalam mengoperasionalkan toko ritel mereka. Konsep ini berbicara mengenai fakta dalam membangun bisnis, yaitu kesuksesan toko ritel bergantung pada pasar bisnisnya.

Dan McCarthy, seorang asisten profesor di Universitas Emory, mengatakan jika brand lama juga kerap bereksperimen dalam membangun tim dengan spesialisasi yang berbeda - beda untuk berinvestasi besar - besaran di toko - toko ritelnya. (Beliau juga pernah menjual startup data analytics nya “Zodiac” ke Nike di tahun 2018)

Mengadopsi Strategi Branding Produk dengan Influencer Marketing

Andrew Lipsman, senior data analyst di Insider Intelligence, mengatakan jika beberapa brand yang sangat sukses membangun bisnis D2C, seperti Nike, Levi’s dan Crocs, kuat dan mudah diidentifikasi.

Levi’s mengatakan bahwa pada bulan Januari penjualan D2C mereka di Amerika Serikat mencapai rekor di kuatal ke empat, dengan jumlah pendapatan hampir sepertiga dari total pendapatan perusahaan. Sementara itu pada brand Crocs, diketahui pendapatan D2C mereka tumbuh 62% dari tahun sebelumnya dalam laporan pendapatan kuartal ke empatnya.

Lipsman mengatakan salah satu keuntungan terbesar brand - brand baru dibandingkan dengan yang lama adalah kemampuan mereka untuk mendapatkan pelanggan melalui media sosial. Meski begitu, biaya advertising pada Facebook dan Instagram terus meningkat, sehingga akuisisi pelanggan melalui iklan media sosial saja tidak akan cukup. Diperlukan strategi branding produk lain yang lebih efisien untuk menjangkau lebih banyak audiens.

Tidak ada kriteria khusus yang membuat brand bisa dikategorikan “kuat”, namun persamaan karakteristik brand lama yang telah berhasil memasuki pasar D2C adalah mereka sama - sama memiliki brand awareness dan brand loyalty yang tinggi. Contohnya saja Nike dengan sneaker nya. Nike kerap meluncurkan sneaker eksklusif dengan harga yang tidak murah, namun produk itu tetap menjadi incaran semua orang.

Dalam menumbuhkan karakteristik tersebut, brand - brand ini memilih untuk menggunakan influencer marketing sebagai strategi branding produknya. Crocs misalnya yang kerap berkolaborasi dengan berbagai influencers, seperti Justin Bieber, Post Malone, dan banyak influencer lain. 

Dengan bekerja sama dengan influencer, brand kamu akan mendapat perhatian dari lebih banyak audiens. Karena tidak hanya audiens yang sedang tertarik dengan produkmu, namun brand kamu juga akan didengar oleh pengikut atau seseorang yang sedang mengunjungi profil media sosial influencer tersebut. Ada pula jika influencer memiliki hubungan yang erat dengan pengikut atau penggemarnya, kemungkinan penjualan produk kamu akan lebih meledak diantara pengikut influencer tersebut.

Slice merupakan influencer marketing CRM yang menghubungkan brand kepada influencer pilihan mereka. Pada platform Slice, brand bisa menemukan influencer sesuai kategori  produk dan preferensi marketing campaign mereka. Entah itu menggunakan mega influencers untuk meningkatkan brand awarenesss, atau micro influencers untuk meningkatkan penjualan. Selain itu dengan platform ini, proses influencer marketing ini akan terkelola dengan lebih baik.

Bereksperimen dengan Strategi Bisnis Digital di Luar Media Sosial

Brand lama yang menggunakan D2C tidak hanya membangun situs web komersial, dan mengandalkan pemasaran iklan media sosial, namun juga berinvestasi dalam mendapatkan lebih banyak pelanggan secara digital dengan banyak inovasi lainnya.

Menurut Lipsman, hal ini akan memberikan keuntungan dari biaya akuisisi yang rendah untuk satu penjualan.

Contohnya saja Nike yang telah membangun berbagai aplikasi seluler untuk brand nya sendiri, yang diantaranya adalah Nike App, SNKRS, Nike Run, dan Nike Training Club. Jumlah pengguna pada aplikasi itu pun diklaim mencapai 300 juta pengguna pada tahun 2021.

Setelah itu Levi’s telah berinvestasi dalam teknologi digital untuk mempertahankan tingkat refund (pengembalian barang) yang rendah. Ini merupakan hal yang penting dalam bisnis pakaian. Tahun lalu, Levi’s menambahkan fitur baru pada websitenya dimana pelanggannya bisa mendapatkan rekomendasi ukuran pakaian yang pas berdasarkan tinggi, berat, dan jenis kelamin mereka. Levi’s juga menawarkan fitur kolaborasi dan kustomisasi eksklusif di dalam aplikasi selulernya.

Semua eksperimen strategi bisnis itu tentunya menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Pada tahun 2019, Nike menghabiskan $1 miliar untuk mengembangkan fitur dan konsep Nike Direct.

Meskipun konsep ini bukanlah hal yang bisa dengan mudah ditiru oleh brand baru, namun hal tersebut membuktikan jika menjalankan bisnis D2C saat ini memerlukan investasi dalam mengembangkan operasional bisnis online maupun offline.

McCarthy pun pernah mengatakan, "it is not cheap to really build out a successful D2C business.", yang kurang lebih menegaskan jika membangun bisnis D2C yang sukses bukanlah sesuatu yang murah.

Slice Icon
Connect With Us!
(*) required
Thank you! Your submission has been received!
Oops! Something went wrong while submitting the form.